Selasa, 20 Mei 2008

Fenomenor

PELACURAN INTELEKTUAL

Banyak julukan yang diberikan oleh masyarakat untuk para pemimpin/ pemerintah yang akan, maupun yang sedang duduk di kursi jabatan. Kalau sampai para wakil rakyat seriusmenanggapi soal pelacuran intelektual di DPR tentu ini sangat mengganggu suasana kerja DPR kita yang sebelumnya berpredikat intelektual.
Sebelum pemilu, para calon legislative dijejali oleh para intelek yang tujuannya adalah meningkatkan mutu DPR juga agar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Anehnya begitu pemilu usai dan dan banyak para intelektual yang telah dipilih menjadi anggota DPR justru dituding melacurkan diri. Kalau begitu dimanakah sebenarnya tempat para intelektual ini dalam kehidupan bermasyarakat? Apa yang sebenarnya mereka lakukan?
Menyebut kata intelektual, apalagi berbicara mengenai orang ber-intelektual, maka kita dapat membayangkan kalau orang itu adalah orang yang berpendidikan tinggi. Seluruh hidupnya diabdikan untuk membaca buku dan tidak bisa tersenyum karena selalu bercakap dengan buku. Tidaklah salah kalau asumsi ini ada karena banyak ara intelektual kita yang masih muda, namun sudah berlagak pikun.
Intelektual adalah orang-orang yang berilmu dan tidak merasa puas menerima kenyataan. Mereka selalu memikirkan alternative terbaik dari segala hal yang dianggap oleh masyarakat itu baik. Mereka selalu mencari kebenaran yang tak ada batasnya. Intelektual sejati adalah mereka yang bertindak rasional, lebih mementingan akal dari perasaan, objektif, serta memiliki integritas pribadi serta sanggup mengatakan benar atau salah tanpa pandang bulu. Sekalipun demikian, mereka hidup di atas menara gading atau penderitaan orang lain.
Orang berintelek tidak memikirkan soal materi, serta keuntungan tertentu (opurtunis). Doyannya sebagian kaum intelek terhadap materi sangat meragukan kadar inteleknya.
Mengenai intelektual yang ikut dalam politik praktis; Julien Brenda tegas menyatakan intelktual yang ikut dalam politik praktis adalah pengkianat. Karena politik praktis memiliki karakter yang bertolak belakang dengan trasdisi keilmuan. Dalam dunia politik, praktis, perasaan irasional, subyektifitas, dan sikap mendua merupakan sikap yang lumrah. Di sana intelektual tidak lagi dituntut untuk berpikir soal alternative terbaik, tapi mereka hanya dituntut untuk sanggup mewujudkan suatu alternative yang sudah diputuskan secara politik. Melacurkan diri artinya mengerjakan sesuatau bukan atas kehendak pribadinya, tetapi karena hal lain yang memaksanya. Sebenarnya tidak ada satu kekuatanpun yang sanggup memaksa intelektual untuk mengambil keputusan yang menguntungkan satu pihak, tetapi keadaan ideal ini tidak pernah tercipta. Semoga kalangan DPR kita tidak seperti itu.

Tidak ada komentar: